Selasa, 07 Agustus 2018

Kibaran Obor Asian Games 2018

Kibaran Obor Asian Games 2018

Pada tanggal 17 Juli 2018, Api Obor Asian Games 2018 telah sampai di Yogyakarta.
Obor tersebut akan dibawa keliling di 54 kota dan kabupaten di 18 provinsi di Indonesia dengan menempuh jarak sekitar 18.000 kilometer. Setelah mengelilingi Indonesia kurang lebih satu bulan, obor tersebut rencananya akan tiba di Stadion Utama Gelora Bung Karno tepat pada saat acara pembukaan pada 18 Agustus 2018.
Api yang digunakan pada obor itu bukanlah sembarang api. Api itu diambil dari sumber api abadi di India yang tidak boleh mati saat dibawa dengan pesawat.
Api obor sengaja didatangkan dari India karena India adalah tuan rumah Asian Games pertama pada tahun 1951.
Api ini diambil dari lokasi api abadi Asian Games di India, yaitu Stadion Nasional Dhyan Chand di New Delhi, tempat Asian Games pertama kali digelar di India.
Di India, obor api diserahkan secara simbolik oleh Indian Olympic Association (IOA) President, Narinder Batra, kepada Ketua Komite Penyelenggara Asian Games Indonesia, Erick Thohir.
Api sengaja didatangkan dari sumber api abadi dari India sebagai lambang semangat yang terus menyala untuk menjaga kebersamaan dan persahabatan serta semangat untuk berprestasi.
Api abadi dari India itu dibawa dengan perlakuan khusus dan tak boleh padam hingga tiba di Indonesia. Api dibawa dengan pesawat Boeing 737 400 milik TNI AU.
Api abadi tidak pernah mati karena dibawa menggunakan alat khusus yang disebut tinder box yang berbahan bakar gas. Setiap kali habis, bahan bakar diisi kembali agar mati tidak mati. Sekali diisi bisa bertahan selama 10 jam.
Api abadi dari india ini dibawa dengan dikawal 5 pesawat tempur T-50 Golden Eagle.
Lima pesawat tempur T-50 Golden Eagle milik TNI AU sukses mengawal pesawat yang membawa api obor Asean Games. Sekitar pukul 08.00 WIB, pesawat mendarat mulus di Lanud Adi Sutjipto, Yogyakarta.
Peraih medali emas Olimpiade 1992, Susi Susanti, membawa api obor turun dari pesawat. Setelah itu, Susi menyerahkannya ke Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Marsekal TNI Yuyu Sutisna. Lalu, Marsekal TNI Yuyu Sutisna bersama Sri Sultan HB X dan Susi Susanti membawa api Asian Games 2018 menuju Museum Pusat Angkatan Udara Mandala Yogyakarta dengan menggunakan kendaraan yang telah disiapkan dengan dikawal Pasukan Bregodo dari Keraton Ngayogyakarta.
Setelah tiba di Indonesia, api abadi dari India akan disatukan dengan api abadi yang diambil dari Mrapen, Grobogan, Jawa Tengah.
Penyatuan api tersebut akan digelar pada hari Rabu tanggal 18 Juli 2018, di Candi Prambanan, Yogyakarta. Setelah disatukan, api yang sudah disatukan ini akan dibawa menuju Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dengan berlari.
Api Abadi Mrapen merupakan fenomena alam karena faktor gas alam yang keluar dari perut bumi. Akibatnya, muncul api yang hingga saat ini tidak pernah padam. Api ini menjadi bagian penting dalam perayaan Tri Suci Waisak. Selain itu, api untuk pembukaan Pekan Olahraga Nasional (PON), di antaranya Pekan Olahraga Nasional (PON) mulai PON X tahun 1981, POR PWI tahun 1983 dan Haornas, juga diambil dari tempat ini.

Dewi Sartika

Dewi Sartika

Dewi Sartika was the leading figure and pioneer for the education for women in Indonesia. She founded the first school for women in Dutch East Indies. She was formally acknowledged as a National Hero by the Indonesian government in 1966.
Dewi Sartika was born to Sundanese noble parents, R. Rangga Somanegara and R. A. Rajapermas in Cicalengka, on 4 December 1884. As a child, after school she often pretended to be a teacher while playing with her friends. After her father died, she lived with her uncle. She received an education of Sundanese culture while under his care, while her knowledge of Western culture was passed on to her from the wife of a resident assistant. In 1899, she moved to Bandung.
On 16 January 1904, she founded a school named Sekolah Isteri at Bandung Regency's Pendopo which later was relocated to Jalan Ciguriang and the school name changed to Sekolah Kaoetamaan Isteri (Wife Eminency School) in 1910. In 1912, there were nine Sekolah Kaoetamaan Isteri in cities or regencies in West Java (half of the cities and regencies), and in 1920 all of cities and regencies had one school. In September 1929, this school changed its name to Sekolah Raden Dewi.
She died on 11 September 1947 at Cineam, Tasikmalaya while she was evacuating from Bandung due to independence war.
Her name Dewi Sartika is known as the street that was the place of her school.She was awarded the Order of Orange-Nassau at the 35th anniversary of Sekolah Kaoetamaan Isteri as a tribute to her service in education. On 1 December 1966, she received Heroine of the National Movement title.
In 1906, she married Raden Kanduruhan Agah Suriawinata, a teacher at Sekolah Karang Pamulang.